Pemprov Sumut Gencarkan Penyelesaian Konflik Agraria, Bentuk GTRA hingga Satgas Anti Mafia Tanah

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Utara (Sumut) terus memperkuat langkah dalam menyelesaikan konflik agraria yang masih menjadi persoalan serius di berbagai kabupaten/kota

Oct 19, 2025 - 11:00
Oct 19, 2025 - 11:00
 0
Pemprov Sumut Gencarkan Penyelesaian Konflik Agraria, Bentuk GTRA hingga Satgas Anti Mafia Tanah
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Sumut) melalui Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat dan Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setdaprov Sumut melakukan Konferensi Pers terkait Mengurai Isu Pertanahan di Sumatera Utara. Kegiatan yang difasilitasi Dinas Kominfo Sumut ini berlangsung di Lobby Dekranasda Lantai 1 Kantor Gubernur Sumut Jalan Diponengoro Nomor 30 Medan, Jumat (17/10/2025)

BOLAHITA - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Utara (Sumut) terus memperkuat langkah dalam menyelesaikan konflik agraria yang masih menjadi persoalan serius di berbagai kabupaten/kota.

Sejumlah strategi konkret telah dijalankan, mulai dari pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), penyelesaian batas desa dan kelurahan, pembentukan Satgas Anti Mafia Tanah, hingga Tim Inventarisasi Konflik Agraria.

Hal tersebut disampaikan oleh Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setdaprov Sumut, Basarin Yunus Tanjung, dalam temu pers yang digelar Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Sumut di Lobby Dekranasda, Kantor Gubernur Sumut, Jalan Pangeran Diponegoro Nomor 30 Medan, Jumat (17/10/2025).

SENNCOIN Selling High Quality Roasted Beans and Ground Coffee

Menurut Basarin, Sumatera Utara termasuk provinsi dengan jumlah konflik agraria tertinggi di Indonesia. Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), tercatat 133 kasus konflik dengan luas lahan mencapai 34 ribu hektare, yang berdampak terhadap lebih dari 11 ribu kepala keluarga.

“Konflik agraria umumnya melibatkan masyarakat dan perusahaan pemegang hak konsesi seperti HGU (Hak Guna Usaha), HGB (Hak Guna Bangunan), dan HPL (Hak Pengelolaan Lahan). Permasalahan sering timbul karena proses pelepasan lahan yang tidak transparan dan adil, serta tumpang tindih kepemilikan tanah,” jelas Basarin.

Ia juga menyinggung akar sejarah panjang konflik agraria di Sumut yang berawal sejak masa kolonial Belanda tahun 1870, khususnya di wilayah perkebunan pantai timur. Saat itu, tanah milik para sultan diberikan sebagai konsesi kepada perusahaan Belanda. Sementara di pantai barat dan pegunungan Bukit Barisan, tanah merupakan hak ulayat masyarakat adat yang digunakan untuk pertanian.


Salah satu contoh keberhasilan penyelesaian konflik, lanjut Basarin, terjadi di Desa Mbal-Mbal Petarum, Kecamatan Lau Baleng, Kabupaten Karo. Di wilayah ini, masyarakat yang semula mengelola lahan penggembalaan berhasil mengalihfungsikan lahan menjadi area pertanian seluas 682 hektare.

“Penyelesaian dilakukan melalui penetapan Perda Kabupaten Karo, serta terbitnya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang memberikan hak pengelolaan hutan kemasyarakatan seluas 182 hektare kepada 39 kepala keluarga,” ungkap Basarin.

Ia menegaskan harapannya agar seluruh konflik pertanahan di Sumut dapat diselesaikan secara damai, transparan, dan berkeadilan, tanpa adanya intimidasi maupun kekerasan dari pihak mana pun.

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow