BOLAHITA.ID - BOLAHITA.ID - Bhayangkara FC mengakhiri Liga 1 Indonesia dengan merebut trofi juara. Dari 34 pertandingan yang dilakoni masing-masing klub menyisahkan sejumlah cerita seru, menarik dan lucu serta memilukan.
Ya, Liga Indonesia belum sesuai yang diharapkan para pecintanya. Mulai dari kenyamanan, kepastian, kepuasan. Bahkan para pelaku atau klub sekalipun secara terbuka mengomentari soal PSSI ataupun PT Liga Indonesia Baru sebagai operator.
Pertama dimana PSSI dan PT Liga Indonesia Baru tentang penerapan regulasi menggunakan umur (U-23) di Liga Profesional dan yang kemudian diubah-ubah di tengah jalan. Regulasi terkesan begitu gampang diubah, meski yang merancang adalah mereka sendiri.
Kedua adalah tidak tegasnya federasi dan operator liga terkait sanksi yang diberikan. Ini membuat tingkat kepercayaan para pecinta, pelaku sepak bola di tanah air meningkat.
Ketiga adalah dengan terlalu mempercayakan kualitas wasit luar untuk memimpin Liga 1. Dan memang ini buah dari kritikan yang dilontarkan terhadap kualitas wasit lokal. Namun faktanya dalam beberapa laga, misalnya Persija Jakarta versus Persib Bandung. Ketika wasit asing tidak mensahkan gol Ezechiel N`Douassel pada laga Persija menghadapi Persib di Stadion Manahan, Solo. Bola sudah melewati garis gawang. Namun kita tak bisa menghukum wasit, karena diluar wewenang.
Selanjutnya tentang penundaan jadwal yang juga menganggu konsentrasi setiap tim. Tercantum pada regulasi liga, PSSI dan PT Liga Indonesia Baru (PT LIB) memang berhak mengubah jadwal, peraturan, dan berbagai macam hal lainnya saat kompetisi berlangsung. Seperti yang terjadi pada pertandingan Madura United melawan Bhayangkara FC.
"Ini tidak normal dan ini sudah jelas melanggar aturan yang ada. Ini merugikan tim kami. PSSI harus mencarikan tempat dan kalau bisa bermain sesuai dengan tanggal yang telah ditentukan semula. Saya juga tanya manajemen untuk layangkan surat protes dan harusnya mereka bermain besok sesuai jadwal semula," ujar Robert Rene Alberts, pelatih PSM, mengomentari penundaan pertandingan Madura United vs Bhayangkara.
Lalu ada lagi tentang Marquee Player. Kita sempat dikejutkan dengan langkah PSSI dan PT LIB menerapkan regulasi marquee player. Secara bisnis, PSSI ingin meningkat kualitas Liga Indonesia. Adalah Michael Essien kali pertama mendarat kaki di Indonesia. Lalu mengikut Peter Odemwingie dan Mohammed Sissoko. Ini membuat pamor Liga 1 masuk dalam radar pemberitaan media luar. Sayangnya penerapan Marquee Player memiliki celah yang dimanfaatkan sejumlah klub. Lucu, Marquee Player ini diluar ekspestasi kita.
seorang pemain yang baru bermain di liga yang tercantum pada kriteria marquee player selama satu musim saja (sebagai pinjaman pula) sudah bisa didaftarkan sebagai marquee player. Untungnya para marquee player jenis ini bisa tampil cukup apik yang bahkan bisa melebihi performa marquee player yang benar-benar sesuai kriteria.
Di musim depan, bila memang regulasi marquee player tetap akan digunakan, PSSI dan PT LIB mesti memperbaiki berbagai hal. Menyangkut kompetisi seperti regulasi, kualitas wasit dan semacamnya, agar para pemain kelas dunia yang didatangkan tidak merasa seperti memasuki neraka. Selain itu, seperti disinggung sebelumnya, regulasi soal marquee player ini harus dirancang sedetail mungkin agar klub-klub tidak hanya mendatangkan pemain dengan kriteria sebenarnya.
Terakhir adalah tentang pentingnya pemahaman pertolongan pertama untuk pemain yang Cedera. Merujuk kejadian kiper Persela Lamongan, Choirul Huda, usai mengalami benturan dengan rekan setimnya sendiri dalam laga melawan Semen Padang. "Ada kemungkinan trauma dada, trauma kepala dan trauma leher. Di dalam tulang leher itu ada sumsum tulang yang menghubungkan batang otak. Di batang otak itu ada pusat-pusat semua organ vital, pusat denyut jantung dan napas," ungkap Yudistiro Andri Nugroho, Kepala Unit Instalasi Gawat Darurat RSUD dr Segiri Lamongan.
Setelah kabar memilukan tersebut, berbagai tanggapan bermunculan, terutama yang mengkritik soal penanganan pertama yang diterima Huda. Salah satunya datang dari akun Twitter @sigitpramudya1 milik Sigit Pramudya, fisioterapis PSS Sleman. Di sana, Sigit menyoroti tidak adanya cervical collar (alat penyangga leher), proses mengangkat Huda ke atas tandu yang asal-asalan, hingga cara membawanya ke ambulans.
Dan dalam kasus seperti yang dialami oleh Choirul Huda, sederhananya, petugas medis mesti berhati-hati dalam melakukan pertolongan pertama. Jangan asal mengangkat ke tandu dan bahkan membawanya ke ambulans. (FourFourTwo)